Jumat, 22 Februari 2013

Pulang [2]

Pigura kecil di atas meja belajar, menyunggingkan senyum Putri. Satu-satunya adik perempuan yang Deasy miliki. Tak henti, Deasy menatapinya. Liburan kemarin, saat mengantar kepulangan Deasy di Bandara Sultan Hasanuddin, lambaian tangan dan senyum manisnya bagai terpatri pada ingatan.

“Aku juga mau sekolah di Kuala Lumpur nantinya,”  Putri memegangi tangannya.
“Biar bisa sama kakak terus.”

“Kalau kamu SMA nanti, kakak udah kuliah.” Deasy memeluk adiknya.

“Tapi kan kakak tetap di KL?” Putri menatapnya.

“Iyaaa. Kamu belajar yang baik aja dulu. Jangan mikir terlalu jauh.”

“Iyaaa. Bye, Kakak. Mmmuah ….” Senyumnya semakin manis saja.

Deasy bersandar di ujung meja. Ingatannya melayang pada semua orang yang dicintainya. Tumpukan buku-buku yang tersusun rapi, perangkat musik dan ... potret berbingkai tembaga. Senyum samar Anang tepat menghunjam jantung.

Anang, cowok keren itu. Sahabatnya sejak SMP. Kisah kasih mereka, tak pernah terucapkan. Kepulangan Deasy minggu lalu menjadi sangat berarti. Mereka bertemu di Pantai Akkarena. Sebuah restoran tepi laut tak jauh dari pusat kota Makassar, menjadi pilihan keduanya.  

“Kamu jauh lebih cantik, Deasy” Anang mengamatinya.

“Ih, bisa aja.” Wajah Deasy merona merah.

“Rasanya seabad nggak ketemu kamu. Kangen.” Anang menatapnya. Alisnya yang lebat hampir bertaut.

“Ak ... aku ... jangan ngomong gitu, ah.” Deasy jengah dan malu.

“Kamu tau, kan? Aku selalu sayang padamu.” Anang meraih tangannya. Dan sejak itu, hubungan mereka tak lagi murni persahabatan. Lebih dekat, lebih indah.

Ketukan kecil di pintu kamar membuat Deasy terbangun dari khayalnya. Dengan enggan, Deasy menyeret sandal bergambar Mickey Mouse yang berada di bawah meja.

“Cari makan, yuk.” Ning telah berdiri di hadapan.

“Belum lapar, mau tidur dulu.” Deasy menatap Ning. Si Cantik nan semampai itu telah rapi dengan jeans dan kemejanya yang keren.

“Aku mau pergi dengan Ayu dan Vonny. Nggak takut sendirian?” Senyum Ning penuh arti.

“Aku nggak takut Ghost. Dia sahabat baikku.”

Mereka terkekeh.

“Yakin nggak ikut?” Ning memastikan. Deasy menggeleng.

Sepeninggal Ning, Deasy kembali pada lamunan. Pucuk bambu berayun diterpa angin, taman asri dan tangga menuju sungai kecil yang dipenuhi binatang air, malah membuat hati Deasy dirundung kangen berlapis-lapis. Dipandanginya burung-burung yang bertengger di dahan. Betapa indahnya andai Deasy mampu seperti mereka. Terbang ke mana saja sesuka hati. Dan pulang kapanpun mereka mau.

Rinai hujan mulai jatuh satu per satu. Arakan awan tebal menutupi birunya langit. Deasy memandangi dibalik tirai bergambar bunga tulip miliknya. Tingkahan deru pesawat makin menguatkan rasa rindu. Saat telepon genggamnya berdering, Deasy bergeming. Pasti Ning yang iseng mengganggu, pikirnya. Tapi saat hape tak juga berhenti bernyanyi, Deasy meraihnya.

“Sedang apa? Mama datang besok dengan Putri,” suara mama bagai nyanyian alam yang tak berkesudahan.

“Benar, Ma?” Daisy menahan napas menunggu jawaban.

“Iya, kamu pasti kangen.”

“Makasih, Mama. Deasy nunggu!” Suara Deasy berubah sangat riang.

Percakapan ditutup. Deasy tiba-tiba menyadari rasa lapar yang menderanya.

A-ha! Aku belum makan sejak tadi!

Daisy menekan tombol hape. “Ning, di mana? Aku kangen burger!”

“Di Jusco. Lagi nunggu Baim. Ke sini aja.” Suara Ning penuh tawa.

Deasy mengunci pintu di belakangnya. Dan berlari menyusul Ning. Masih tersisa percik air di pelataran. Biarkan saja. Kata pulang tak lagi menghantui Deasy. Langkahnya terasa ringan dan pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 22 Februari 2013

Pulang [2]

Pigura kecil di atas meja belajar, menyunggingkan senyum Putri. Satu-satunya adik perempuan yang Deasy miliki. Tak henti, Deasy menatapinya. Liburan kemarin, saat mengantar kepulangan Deasy di Bandara Sultan Hasanuddin, lambaian tangan dan senyum manisnya bagai terpatri pada ingatan.

“Aku juga mau sekolah di Kuala Lumpur nantinya,”  Putri memegangi tangannya.
“Biar bisa sama kakak terus.”

“Kalau kamu SMA nanti, kakak udah kuliah.” Deasy memeluk adiknya.

“Tapi kan kakak tetap di KL?” Putri menatapnya.

“Iyaaa. Kamu belajar yang baik aja dulu. Jangan mikir terlalu jauh.”

“Iyaaa. Bye, Kakak. Mmmuah ….” Senyumnya semakin manis saja.

Deasy bersandar di ujung meja. Ingatannya melayang pada semua orang yang dicintainya. Tumpukan buku-buku yang tersusun rapi, perangkat musik dan ... potret berbingkai tembaga. Senyum samar Anang tepat menghunjam jantung.

Anang, cowok keren itu. Sahabatnya sejak SMP. Kisah kasih mereka, tak pernah terucapkan. Kepulangan Deasy minggu lalu menjadi sangat berarti. Mereka bertemu di Pantai Akkarena. Sebuah restoran tepi laut tak jauh dari pusat kota Makassar, menjadi pilihan keduanya.  

“Kamu jauh lebih cantik, Deasy” Anang mengamatinya.

“Ih, bisa aja.” Wajah Deasy merona merah.

“Rasanya seabad nggak ketemu kamu. Kangen.” Anang menatapnya. Alisnya yang lebat hampir bertaut.

“Ak ... aku ... jangan ngomong gitu, ah.” Deasy jengah dan malu.

“Kamu tau, kan? Aku selalu sayang padamu.” Anang meraih tangannya. Dan sejak itu, hubungan mereka tak lagi murni persahabatan. Lebih dekat, lebih indah.

Ketukan kecil di pintu kamar membuat Deasy terbangun dari khayalnya. Dengan enggan, Deasy menyeret sandal bergambar Mickey Mouse yang berada di bawah meja.

“Cari makan, yuk.” Ning telah berdiri di hadapan.

“Belum lapar, mau tidur dulu.” Deasy menatap Ning. Si Cantik nan semampai itu telah rapi dengan jeans dan kemejanya yang keren.

“Aku mau pergi dengan Ayu dan Vonny. Nggak takut sendirian?” Senyum Ning penuh arti.

“Aku nggak takut Ghost. Dia sahabat baikku.”

Mereka terkekeh.

“Yakin nggak ikut?” Ning memastikan. Deasy menggeleng.

Sepeninggal Ning, Deasy kembali pada lamunan. Pucuk bambu berayun diterpa angin, taman asri dan tangga menuju sungai kecil yang dipenuhi binatang air, malah membuat hati Deasy dirundung kangen berlapis-lapis. Dipandanginya burung-burung yang bertengger di dahan. Betapa indahnya andai Deasy mampu seperti mereka. Terbang ke mana saja sesuka hati. Dan pulang kapanpun mereka mau.

Rinai hujan mulai jatuh satu per satu. Arakan awan tebal menutupi birunya langit. Deasy memandangi dibalik tirai bergambar bunga tulip miliknya. Tingkahan deru pesawat makin menguatkan rasa rindu. Saat telepon genggamnya berdering, Deasy bergeming. Pasti Ning yang iseng mengganggu, pikirnya. Tapi saat hape tak juga berhenti bernyanyi, Deasy meraihnya.

“Sedang apa? Mama datang besok dengan Putri,” suara mama bagai nyanyian alam yang tak berkesudahan.

“Benar, Ma?” Daisy menahan napas menunggu jawaban.

“Iya, kamu pasti kangen.”

“Makasih, Mama. Deasy nunggu!” Suara Deasy berubah sangat riang.

Percakapan ditutup. Deasy tiba-tiba menyadari rasa lapar yang menderanya.

A-ha! Aku belum makan sejak tadi!

Daisy menekan tombol hape. “Ning, di mana? Aku kangen burger!”

“Di Jusco. Lagi nunggu Baim. Ke sini aja.” Suara Ning penuh tawa.

Deasy mengunci pintu di belakangnya. Dan berlari menyusul Ning. Masih tersisa percik air di pelataran. Biarkan saja. Kata pulang tak lagi menghantui Deasy. Langkahnya terasa ringan dan pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar