Jumat, 22 Februari 2013

Puding [2]

Di rumah Tia, kami sibuk menyiapkan peralatan dan bahan untuk membuat puding. Hal pertama yang kami lakukan adalah merebus air. Sebenarnya, diantara kami nggak ada yang bisa masak. Bahkan membuat puding sekalipun.

“Ra, udah mendidih nih airnya,” kata Tia mengingatkan.

“Oke. Menurut resepnya Mama, langsung aja masukin serbuk agarnya,” perintahku memberi instruksi. Tia segera menurutinya dan memasukkan sebungkus agar-agar ke dalam panci kecil.

“Terus Ra?” tanya Tia bingung.

 “Sambil diaduk dong, Tia,” perintahku lagi. Kesal banget rasanya ketika melihat Tia bengong sambil memeloti serbuk itu mengambang di atas air mendidih.

“Rara, udah 5 menit gue ngaduk-ngaduk. Kok nggak ada perubahan ya? Tetep cair tuh,” kata Tia putus asa.

“Iya nih. Padahal seharusnya dia sudah jadi kenyal,” timpalku.
Segera kulirik secarik resep dari Mama. Aku mencoba mencari kesalahan prosedur yang kami lakukan.

“Tapi kita udah ngikutin sama persis dengan resep yang ditulis mama,” imbuhku.

“Ah ini sih nggak jadi, Ra. Kelamaan diaduk. Ya udah ulang dari awal aja,” sarannya.

“Iya deh, yang gagal buang aja di rumput depan. Lumayan, bisa jadi nutrisi tanaman,” ujarku teringat dengan cairan teh basi yang disiramkan Mama di pot Anthurium-nya.

Akhirnya, kami mengulang lagi dari awal. Mulai dari merebus air, memasukkan bubuk agar dan mengaduknya. Bedanya, Tia hanya mengaduknya beberapa kali saja.

“Ra, kok sama aja ya? Tetep cair tuh, snggak kenyel.”

“Aduh ini yang salah agarnya apa resepnya Mama sih?” teriakku pasrah.

“Ya udah bikin lagi aja, tapi yang ini serbuk agarnya langsung dimasukkin. Setelah itu baru dimasukkan airnya,” imbuhku sambil memberi solusi.

“Ya udah deh, yang ini gue buang lagi ya di rumput depan.” kata Tia sambil berjalan keluar.

Untuk kedua kalinya, kami mengulang kembali membuat agar-agar. Bedanya bubuk agar-agar langsung direbus bersama airnya. Ya ampun, bikin puding aja kok ribet banget, pikirku.

 “Agar-agarnya mungkin yang kadaluarsa,” gerutuku asal.

“Sini, coba gue baca prosedurnya,” kata Tia sambil merebut bungkus agar dari tanganku.

“Rara, disini ditulis: kalo habis diaduk kita harus nunggu selama 30 menit biar agarnya jadi kenyal!” kata Tia sambil melotot.

Tanpa pikir panjang, aku dan Tia langsung berlari ke halaman depan. Tepat seperti dugaan kami, di atas rumput terdapat benda kenyal berwarna cokelat dan merah. Tanpa ditanya pun, kami tahu kalau itulah si puding rasa cokelat dan strawberry.

Aku dan Tia hanya mengulum tawa menertawakan kebodohan masing-masing. Namanya juga belajar masak.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 22 Februari 2013

Puding [2]

Di rumah Tia, kami sibuk menyiapkan peralatan dan bahan untuk membuat puding. Hal pertama yang kami lakukan adalah merebus air. Sebenarnya, diantara kami nggak ada yang bisa masak. Bahkan membuat puding sekalipun.

“Ra, udah mendidih nih airnya,” kata Tia mengingatkan.

“Oke. Menurut resepnya Mama, langsung aja masukin serbuk agarnya,” perintahku memberi instruksi. Tia segera menurutinya dan memasukkan sebungkus agar-agar ke dalam panci kecil.

“Terus Ra?” tanya Tia bingung.

 “Sambil diaduk dong, Tia,” perintahku lagi. Kesal banget rasanya ketika melihat Tia bengong sambil memeloti serbuk itu mengambang di atas air mendidih.

“Rara, udah 5 menit gue ngaduk-ngaduk. Kok nggak ada perubahan ya? Tetep cair tuh,” kata Tia putus asa.

“Iya nih. Padahal seharusnya dia sudah jadi kenyal,” timpalku.
Segera kulirik secarik resep dari Mama. Aku mencoba mencari kesalahan prosedur yang kami lakukan.

“Tapi kita udah ngikutin sama persis dengan resep yang ditulis mama,” imbuhku.

“Ah ini sih nggak jadi, Ra. Kelamaan diaduk. Ya udah ulang dari awal aja,” sarannya.

“Iya deh, yang gagal buang aja di rumput depan. Lumayan, bisa jadi nutrisi tanaman,” ujarku teringat dengan cairan teh basi yang disiramkan Mama di pot Anthurium-nya.

Akhirnya, kami mengulang lagi dari awal. Mulai dari merebus air, memasukkan bubuk agar dan mengaduknya. Bedanya, Tia hanya mengaduknya beberapa kali saja.

“Ra, kok sama aja ya? Tetep cair tuh, snggak kenyel.”

“Aduh ini yang salah agarnya apa resepnya Mama sih?” teriakku pasrah.

“Ya udah bikin lagi aja, tapi yang ini serbuk agarnya langsung dimasukkin. Setelah itu baru dimasukkan airnya,” imbuhku sambil memberi solusi.

“Ya udah deh, yang ini gue buang lagi ya di rumput depan.” kata Tia sambil berjalan keluar.

Untuk kedua kalinya, kami mengulang kembali membuat agar-agar. Bedanya bubuk agar-agar langsung direbus bersama airnya. Ya ampun, bikin puding aja kok ribet banget, pikirku.

 “Agar-agarnya mungkin yang kadaluarsa,” gerutuku asal.

“Sini, coba gue baca prosedurnya,” kata Tia sambil merebut bungkus agar dari tanganku.

“Rara, disini ditulis: kalo habis diaduk kita harus nunggu selama 30 menit biar agarnya jadi kenyal!” kata Tia sambil melotot.

Tanpa pikir panjang, aku dan Tia langsung berlari ke halaman depan. Tepat seperti dugaan kami, di atas rumput terdapat benda kenyal berwarna cokelat dan merah. Tanpa ditanya pun, kami tahu kalau itulah si puding rasa cokelat dan strawberry.

Aku dan Tia hanya mengulum tawa menertawakan kebodohan masing-masing. Namanya juga belajar masak.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar