Jumat, 22 Februari 2013

Pertengkaran Itu [2]

Tapi ternyata doaku tak cukup manjur. Pagi-pagi, Neila datang ke rumah sudah dengan seragam sekolah dan mata sembab. Mama langsung membimbingnya ke ruang tamu.

“Ada apa Neila?” tanya Mama sambil mengusap-usap pundak Neila.

“Neila harus ikut nenek, Tante. Papa sama Mama tadi malam bilang kalau mulai pagi ini Neila ikut Nenek dulu sampai urusan perceraian Mama dan Papa kelar,” jawab Neila. 

“Karena tadi pagi masih berantem, Neila ke sini dulu, ntar ke sekolahnya bareng Deta aja. Bisa telat ntar kalau nunggu berantemnya mama papa selesai,”

Neila menatap mama, lalu entah siapa yang memulai, mereka kemudian berpelukan, erat.

“Terima kasih Tante, seneng dapat pelukan pagi-pagi. Neila boleh sarapan di sini nggak? Lapar nih. Jadi mulai malam nanti, Neila tidur di rumah Nenek di Salemba, satu jam deh dari sini. Lo sering-sering main ya. Det. Lo pernah juga kan ke tempat nenek gue…”

Neila terus sibuk bicara, bahkan saat sampai ruang makan.

Tentang cita-citanya jadi dokter kandungan yang harus dia kejar, tentang doanya supaya mama, papa dan dirinya bahagia meski nggak bersatu lagi, sampai mengomentari sarapan dengan telor mata sapi yang katanya enak banget.

Ah, aku tahu kenapa dia begitu cerewet. Aku menatapnya sedih. Dia menyembunyikan kegalauan hatinya dengan baik.
Neila terus saja bicara saat sarapan. Mama mendengarkan dengan tekun. Sementara aku berusaha menahan air mataku turun. ***Andriana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 22 Februari 2013

Pertengkaran Itu [2]

Tapi ternyata doaku tak cukup manjur. Pagi-pagi, Neila datang ke rumah sudah dengan seragam sekolah dan mata sembab. Mama langsung membimbingnya ke ruang tamu.

“Ada apa Neila?” tanya Mama sambil mengusap-usap pundak Neila.

“Neila harus ikut nenek, Tante. Papa sama Mama tadi malam bilang kalau mulai pagi ini Neila ikut Nenek dulu sampai urusan perceraian Mama dan Papa kelar,” jawab Neila. 

“Karena tadi pagi masih berantem, Neila ke sini dulu, ntar ke sekolahnya bareng Deta aja. Bisa telat ntar kalau nunggu berantemnya mama papa selesai,”

Neila menatap mama, lalu entah siapa yang memulai, mereka kemudian berpelukan, erat.

“Terima kasih Tante, seneng dapat pelukan pagi-pagi. Neila boleh sarapan di sini nggak? Lapar nih. Jadi mulai malam nanti, Neila tidur di rumah Nenek di Salemba, satu jam deh dari sini. Lo sering-sering main ya. Det. Lo pernah juga kan ke tempat nenek gue…”

Neila terus sibuk bicara, bahkan saat sampai ruang makan.

Tentang cita-citanya jadi dokter kandungan yang harus dia kejar, tentang doanya supaya mama, papa dan dirinya bahagia meski nggak bersatu lagi, sampai mengomentari sarapan dengan telor mata sapi yang katanya enak banget.

Ah, aku tahu kenapa dia begitu cerewet. Aku menatapnya sedih. Dia menyembunyikan kegalauan hatinya dengan baik.
Neila terus saja bicara saat sarapan. Mama mendengarkan dengan tekun. Sementara aku berusaha menahan air mataku turun. ***Andriana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar