Minggu, 04 Desember 2011

Tragedi Dua Tanjung

Tim Pencari Fakta (TPF) harus bisa mengungkap dalang kerusuhan Tanjung Priok, Satpol PP perlu pendekatan kemanusiaan dalam operasinya, dan aparat penegak keamanan, polisi bisa bersikap netral tapi tidak mencari aman.
Nampaknya, sekelompok manusia Indonesia belakangan ini sedang sensitif. Budaya Indonesia yang dikenal santun dan ramah itu seolah bersembunyi di balik sebongkah kekecewaan dan amarah. Akhirnya kekerasan tumpah ruah tak terkendali.
Kerusuhan ‘dua Tanjung’ di dua kota yang berbeda misalnya, membuat kita mesti melihat kembali ke dalam. Kerusuhan dibuka di Koja, Tanjung Priok, Jakarta pada Rabu 14 April 2010. Hanya berselang delapan hari, kerusuhan terjadi lagi di Tanjung Uncang, Batam, Kepulauan Riau, 22 April 2010.
Bentrokan berdarah di Koja antara aparat Satpol PP DKI Jakarta dengan warga yang menewaskan 3 aparat Satpol, 192 orang luka-luka ini ditenggarai karena kurangnya komunikasi dengan pihak ahli waris makam Mbah Priok. Namun tuduhan itu dibantah Wagub DKI Prijanto. Menurut Wagub, sebelum dilakukan penertiban para ahli waris sudah mendapatkan surat pemberitahuan pada 16 Februari 2010. Surat pemberitahuan itu dilanjutkan dengan surat peringatan pertama pada 24 Februari 2010 dan surat peringatan kedua pada 9 Maret 2010 untuk mengosongkan lahan sengketa. Bahkan jauh hari, Harianto Badjoeri Kepala Satpol PP DKI mengaku telah bertemu dan memberitahukan para tokoh FBR, FPI, habib Jakarta Utara, dan perwakilan ahli waris.
Namun demikian mengapa banyak korban yang berjatuhan? Diduga informasi eksekusi telah beredar di tengah masyarakat. Sudah ada pesan berupa himbauan yang menggalang umat untuk menolak eksekusi makam Mbah Priok. Mengetahui hal itu, Gubernur Fauzi Bowo ketika menjawab hak interpelasi DPRD DKI pasca rusuh mengaku, pengarahan pasukanpun dilakukan dalam jumlah besar (1.750 orang) dengan dukungan aparat saat melakukan penertiban dilakukan.
Seperti diketahui, saat bentrok sejumlah warga mempersenjatai dirinya dengan senjata tajam, celurit, samurai, parang, golok, batu, besi, dan air keras dalam botol air mineral. Ada juga yang datang dari luar daerah untuk menghalangi Satpol PP melakukan eksekusi makam Mbah Priok di lahan seluas 5,4 hektar itu dengan dibantu massa dari ormas Forum Betawi Rempug dan Front Pembela Islam (FPI), hingga bentrokanpun tidak bisa dihindarkan. Pasca kerusuhan itu, akhirnya mediasi-pun dilakukan dengan pihak bersengketa, ahli waris dan PT Pellindo yang dipimpin oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto.
Melihat banyaknya korban yang berjatuhan, Ketua DPR Marzuki Alie, meminta aparat berwajib mencari biang kerok kerusuhan. Menurutnya siapapun yang melakukan kekerasan baik aparat maupun pemda harus diusut tuntas. “Biasanya di insiden seperti ini, banyak orang terlibat. Bisa juga melibatkan lembaga noninstitusional karena ini menyangkut kepentingan bisnis,” kata Marzuki. Tak ketinggalan rekan sejawatnya yang juga Wakil Ketua DPR Pramono Anung, meminta Gubernur DKI dan Kepala Dinas terkait harus bertanggung jawab mengapa Satpol PP bertindak berlebihan seperti perilaku paramiliter. Cara pendekatan Satpol PP sekarang harus berbeda. “Masak TNI saja sudah bisa berdemokrasi, tapi Satpol PP tidak bisa?” kata mantan Sekjen PDI-Perjuangan ini.
Sementara itu, tiga TPF yang dibentuk untuk membuka tragedi berdarah Koja masih berbeda pendapat soal penyebab kerusuhan. Aparat belum menyebutkan siapa yang paling bertanggung jawab. Ketiga TPF itu adalah TPF DPRD DKI Jakarta, Palang Merah Indonesia (PMI) bentukan legislatif, dan Komnas HAM, independen. Ketiga lembaga itu masih terus melakukan investigasi, dan mereka optimis hasil investigasi yang mereka lakukan bersamaan akan mendapatkan hasil yang sama. Sedangkan pihak PMI sendiri seperti diungkapkan Ketua PMI Jusuf Kalla hanya bertugas mencakup sisi kemanusiaan, menyelidiki apa penyebab terjadinya kerusuhan dan tidak turut campur dalam ranah hukum.
Sedangkan kerusuhan yang terjadi di Batam dipicu oleh ucapan menghina. Pekerja dari Indonesia tidak terima kata-kata kasar yang dimuntahkan oleh Ganesh seorang keturunan India yang juga merupakan supervisor kelistrikan di PT Drydock World Graha sebuah perusahaan galangan kapal Tanjung Uncang, Batam. “All Indonesian stupid (semua orang Indonesia bodoh).” Umpatan itu pertama kali diucapkannya, ketika sedang rapat dan nyaris adu jotos, namun saat itu masih bisa diredam.
Puncak kejadianpun makin membara, setelah untuk kedua kalinya Ganesh menyulut kembali kesabaran para pekerja Indonesia, yang kembali mengungkapkan kata-kata kasarnya di ruang kerja. “Ninty nine percent Indonesian stupid (99 persen Indonesia bodoh).” Mendengar hal itu, bak disambar petir, sontak membuat karyawan dari Indonesia marah dan perkelahian pun tidak bisa dihindari. Perkataan senada, menurut para pekerja sudah sering terlontar. Seperti dilansir Indopos (23/4), “Kalau topi ini bisa ngomong, ia akan ngomong bahwa tiap hari kami dimaki-maki bodoh dan lainnya,” ujar pekerja di departemen pengendalian mutu (QC). Kabar ini terus menyebar ke puluhan pekerja yang ada di perusahaan. Mereka mencari pekerja dari India dan meminta mereka ke luar dari Indonesia.
Kerusuhan yang berlangsung tengah hari itu mengakibatkan sembilan orang pekerja terluka parah, enam diantaranya orang India dan selebihnya warga Indonesia. Gedung manajemen perusahaan bersama dengan dokumen-dokumen penting ikut terbakar. Tak hanya itu, 38 mobil perusahaan dan WNA juga tak luput dari luapan emosi para pekerja. Berbagai peralatan di ruangan quality control (QC) juga ikut terbakar yang berada di sebelah ruang rapat. Akibat kejadian itu perusahaan mengalami kerugian hingga puluhan miliar rupiah.
Kerusuhan itu juga membuat tenaga kerja asing yang ada di Batam meninggalkan Indonesia, pergi ke Singapura menunggu hingga situasi Batam kondusif karena sempat beredar ada isu penyisiran.
Menanggapi kejadian tersebut, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi langsung membentuk TPF yang diketuai Haiyani Rumondang. TPF menemukan sumber pemicu kerusuhan yakni masalah outsourcing. Selain itu, Rumondang juga mengatakan, sikap kurang bersahabat dari tenaga kerja asing yang mengeluarkan kata-kata tidak pantas kepada pekerja lokal yang mengakibatkan ribuan buruh yang marah melakukan pengrusakan.
Mengetahui hasil temuan TPF tersebut, Menakertrans Muhaimin Iskandar mengatakan perlunya aturan baru terkait outsourcing. Dia menilai aturan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan perekonomian di Indonesia sehingga perlu dibuat aturan yang lebih lengkap untuk menempatkan pekerja dengan lebih baik. Muhaimin sangat menyesalkan kejadian yang tidak seharusnya terjadi jika pihak manajemen, pekerja, serta serikat pekerja dapat menjalin hubungan industrial yang kondusif dan komunikasi yang baik.
Sementara itu menyikapi berbagai kerusuhan yang sering terjadi di Indonesia, psikolog dari Universitas Indonesia Tika Bisono mengatakan, amuk massa yang terjadi menjadi petunjuk adanya ketidaktegasan pemerintah dalam mengatasi masalah rakyat sehingga masyarakat frustasi. Di sisi lain penyelenggara negara juga tidak punya agenda terkait dengan moral, etika, psikologi, dan sosiologi budaya (Media Indonesia, 25/4). Tak hanya itu, amuk massa juga dipicu buruknya mekanisme struktural di birokrasi dalam menangani kasus-kasus di masyarakat yang menurut sosiolog Imam Prasodjo bisa dicegah jika pemerintah menempuh cara-cara kultural sambil berinteraksi dengan warga dan sistem penegakan hukum dapat dipercaya masyarakat. BI-SAN (Berita Indonesia 76)

Siapa Yang Bertanggung Jawab?
TPF harus mampu mengungkap dalang di balik kerusuhan yang melibatkan warga yang masih muda-muda dan menemukan siapa pembunuh tiga satpol.
Tragedi Koja, Tanjung Priok yang terjadi pada 14 April 2010, masih menyisakan keprihatinan kita semua. Tiga orang tewas dari Satpol PP, dan selebihnya 192 orang mengalami luka-luka. Kejadian ini sekaligus mengundang tanya warga yang sedang menonton televisi secara langsung- bentrok antara Satpol PP dengan warga ketika hendak mengeksekusi makam Mbah Priok. “Pada kemana Polisi ya, sepertinya nggak kelihatan,” tanya salah satu warga.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama Palang Merah Indonesia (PMI) langsung membentuk tim investigasi-Tim Pencari Fakta (TPF) pasca rusuh. Setelah melakukan investigasi ke berbagai instansi terkait, Walikota Jakarta Utara, Pemprov DKI, PT Pelindo, dan ahli waris makam Mbah Priok serta beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas), TPF menemukan indikasi pembiaran dari pihak keamanan. “Ada indikasi dugaan pembiaran dari pihak keamanan. Dalam hal ini polisi,” kata Ketua TPF Lulung Lunggana.
Lulung yang juga Wakil Ketua DPRD DKI menjelaskan tiga temuan fakta yaitu adanya kesalahan standar operasi prosedur (SOP) oleh Satpol PP dalam menegakkan perda. Potensi konflik tidak diperhitungkan baik oleh intel Polri, dan pimpinan Satpol PP pemegang kendali operasi seharusnya memerintahkan mundur pasukannya.
Sementara pihak kepolisian juga dinilai tidak bereaksi cepat untuk menurunkan bantuan. Dari pengakuan Walikota Jakarta Utara Bambang Sugiyono kepada TPF, pihaknya meminta Kapolres Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KP3) Tanjung Priok untuk meminta bantuan Kodam Jaya. Karena untuk meminta bantuan TNI hanya bisa dilakukan polisi. Hal itu kemudian diteruskan Kapolres KP3, menghubungi Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Wahyono. Namun saat itu Kapolda mengatakan situasinya masih kondusif dan aman. Padahal kondisi saat itu bukan lagi sekadar penertiban, tapi sudah kerusuhan.
Namun demikian, Polda Metro Jaya menyangkal tudingan itu, sengaja membiarkan terjadinya rusuh di makam Mbah Priok. Polda juga turut mengirimkan tim, bahkan 21 mobil polisi ikut menjadi amuk massa dan 12 anggota polisi terluka.
Seperti diketahui sebelum eksekusi dilakukan, Joni Nelson Simanjuntak Komisioner Komnas HAM, juga anggota Tim Investigasi mengungkapkan, kerusuhan sudah diprediksi sebelumnya. Ada rapat koordinasi antara Satpol PP, kepolisian, kodim, dan PT Pelindo II, sudah mengetahui hal itu. Mengutip keterangan Kepala Satpol PP (nonaktif) Harianto Badjuri, seusai melakukan pemeriksaan. Pada hari H eksekusi, Satpol PP hanya untuk menjaga terlaksananya operasi penertiban. “Ini yang akan kami terus dalami bagaimana komando jaringan ketika terjadi penertiban itu,” katanya.
Belum dipastikannya siapa yang bertanggung jawab karena masih dalam penyelidikan. Namun peristiwa itu tanggung jawab perancang kebijakan pejabat publik, kata Adrianus Meliala pakar kriminolog dan Guru Besar Ul. Menurutnya perancang kebijakan terlalu percaya diri. Dua hari sebelum kejadian, intelijen menyarankan agar tidak dilakukan penggusuran. Bisa menimbulkan kegaduhan, karena lokasi terkait SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Ketika ditanya dimana posisi kepolisian dalam insiden tersebut? Menurutnya polisi sudah memberikan analisis intelijen, serangan tidak layak. Jadi polisi dalam posisi netral. “Ketika masyarakat dipukuli oleh Satpol PP, polisi yang melerai. Ketika Satpol PP yang dipukuli warga, polisi juga melerai,” kata Adrianus.
Satpol PP dalam melakukan penertiban selama ini sering melakukan tindak kekerasan membuat citra Satpol PP semakin terpuruk. Warga sempat mendesak agar Satpol PP DKI dibubarkan dan tugas itu diserahkan ke polisi. “Jangan menyudutkan Satpol sebagai pihak yang paling salah,” ucap Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan meminta agar investigasi dilakukan secara adil, tapi jangan emosional. “Dia (masyarakat) melakukan pembunuhan. Itu ‘kan kriminal. Kalau itu kita biarkan, akan ada pengulangan. Mereka mengira itu boleh. Ini akan terulang. Korbannya bisa saja nanti polisi,” katanya seusai menghadiri peluncuran buku Tanpa Tutup, Boleh Nakal tapi Nggak Boleh Bejat di Jakarta, Jumat (23/4).
TPF harus mampu mengungkap dalang di balik kerusuhan yang melibatkan warga yang masih muda-muda dan menemukan siapa pembunuh tiga satpol. Di samping itu perlu ada evaluasi prosedur operasi Satpol PP di dalam melakukan penertiban, terlebih dahulu melakukan sosialisasi sebelum melakukan eksekusi, tidak represif tapi lebih menekankan pendekatan kemanusiaan. BI-SAN (Berita Indonesia 76)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minggu, 04 Desember 2011

Tragedi Dua Tanjung

Tim Pencari Fakta (TPF) harus bisa mengungkap dalang kerusuhan Tanjung Priok, Satpol PP perlu pendekatan kemanusiaan dalam operasinya, dan aparat penegak keamanan, polisi bisa bersikap netral tapi tidak mencari aman.
Nampaknya, sekelompok manusia Indonesia belakangan ini sedang sensitif. Budaya Indonesia yang dikenal santun dan ramah itu seolah bersembunyi di balik sebongkah kekecewaan dan amarah. Akhirnya kekerasan tumpah ruah tak terkendali.
Kerusuhan ‘dua Tanjung’ di dua kota yang berbeda misalnya, membuat kita mesti melihat kembali ke dalam. Kerusuhan dibuka di Koja, Tanjung Priok, Jakarta pada Rabu 14 April 2010. Hanya berselang delapan hari, kerusuhan terjadi lagi di Tanjung Uncang, Batam, Kepulauan Riau, 22 April 2010.
Bentrokan berdarah di Koja antara aparat Satpol PP DKI Jakarta dengan warga yang menewaskan 3 aparat Satpol, 192 orang luka-luka ini ditenggarai karena kurangnya komunikasi dengan pihak ahli waris makam Mbah Priok. Namun tuduhan itu dibantah Wagub DKI Prijanto. Menurut Wagub, sebelum dilakukan penertiban para ahli waris sudah mendapatkan surat pemberitahuan pada 16 Februari 2010. Surat pemberitahuan itu dilanjutkan dengan surat peringatan pertama pada 24 Februari 2010 dan surat peringatan kedua pada 9 Maret 2010 untuk mengosongkan lahan sengketa. Bahkan jauh hari, Harianto Badjoeri Kepala Satpol PP DKI mengaku telah bertemu dan memberitahukan para tokoh FBR, FPI, habib Jakarta Utara, dan perwakilan ahli waris.
Namun demikian mengapa banyak korban yang berjatuhan? Diduga informasi eksekusi telah beredar di tengah masyarakat. Sudah ada pesan berupa himbauan yang menggalang umat untuk menolak eksekusi makam Mbah Priok. Mengetahui hal itu, Gubernur Fauzi Bowo ketika menjawab hak interpelasi DPRD DKI pasca rusuh mengaku, pengarahan pasukanpun dilakukan dalam jumlah besar (1.750 orang) dengan dukungan aparat saat melakukan penertiban dilakukan.
Seperti diketahui, saat bentrok sejumlah warga mempersenjatai dirinya dengan senjata tajam, celurit, samurai, parang, golok, batu, besi, dan air keras dalam botol air mineral. Ada juga yang datang dari luar daerah untuk menghalangi Satpol PP melakukan eksekusi makam Mbah Priok di lahan seluas 5,4 hektar itu dengan dibantu massa dari ormas Forum Betawi Rempug dan Front Pembela Islam (FPI), hingga bentrokanpun tidak bisa dihindarkan. Pasca kerusuhan itu, akhirnya mediasi-pun dilakukan dengan pihak bersengketa, ahli waris dan PT Pellindo yang dipimpin oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto.
Melihat banyaknya korban yang berjatuhan, Ketua DPR Marzuki Alie, meminta aparat berwajib mencari biang kerok kerusuhan. Menurutnya siapapun yang melakukan kekerasan baik aparat maupun pemda harus diusut tuntas. “Biasanya di insiden seperti ini, banyak orang terlibat. Bisa juga melibatkan lembaga noninstitusional karena ini menyangkut kepentingan bisnis,” kata Marzuki. Tak ketinggalan rekan sejawatnya yang juga Wakil Ketua DPR Pramono Anung, meminta Gubernur DKI dan Kepala Dinas terkait harus bertanggung jawab mengapa Satpol PP bertindak berlebihan seperti perilaku paramiliter. Cara pendekatan Satpol PP sekarang harus berbeda. “Masak TNI saja sudah bisa berdemokrasi, tapi Satpol PP tidak bisa?” kata mantan Sekjen PDI-Perjuangan ini.
Sementara itu, tiga TPF yang dibentuk untuk membuka tragedi berdarah Koja masih berbeda pendapat soal penyebab kerusuhan. Aparat belum menyebutkan siapa yang paling bertanggung jawab. Ketiga TPF itu adalah TPF DPRD DKI Jakarta, Palang Merah Indonesia (PMI) bentukan legislatif, dan Komnas HAM, independen. Ketiga lembaga itu masih terus melakukan investigasi, dan mereka optimis hasil investigasi yang mereka lakukan bersamaan akan mendapatkan hasil yang sama. Sedangkan pihak PMI sendiri seperti diungkapkan Ketua PMI Jusuf Kalla hanya bertugas mencakup sisi kemanusiaan, menyelidiki apa penyebab terjadinya kerusuhan dan tidak turut campur dalam ranah hukum.
Sedangkan kerusuhan yang terjadi di Batam dipicu oleh ucapan menghina. Pekerja dari Indonesia tidak terima kata-kata kasar yang dimuntahkan oleh Ganesh seorang keturunan India yang juga merupakan supervisor kelistrikan di PT Drydock World Graha sebuah perusahaan galangan kapal Tanjung Uncang, Batam. “All Indonesian stupid (semua orang Indonesia bodoh).” Umpatan itu pertama kali diucapkannya, ketika sedang rapat dan nyaris adu jotos, namun saat itu masih bisa diredam.
Puncak kejadianpun makin membara, setelah untuk kedua kalinya Ganesh menyulut kembali kesabaran para pekerja Indonesia, yang kembali mengungkapkan kata-kata kasarnya di ruang kerja. “Ninty nine percent Indonesian stupid (99 persen Indonesia bodoh).” Mendengar hal itu, bak disambar petir, sontak membuat karyawan dari Indonesia marah dan perkelahian pun tidak bisa dihindari. Perkataan senada, menurut para pekerja sudah sering terlontar. Seperti dilansir Indopos (23/4), “Kalau topi ini bisa ngomong, ia akan ngomong bahwa tiap hari kami dimaki-maki bodoh dan lainnya,” ujar pekerja di departemen pengendalian mutu (QC). Kabar ini terus menyebar ke puluhan pekerja yang ada di perusahaan. Mereka mencari pekerja dari India dan meminta mereka ke luar dari Indonesia.
Kerusuhan yang berlangsung tengah hari itu mengakibatkan sembilan orang pekerja terluka parah, enam diantaranya orang India dan selebihnya warga Indonesia. Gedung manajemen perusahaan bersama dengan dokumen-dokumen penting ikut terbakar. Tak hanya itu, 38 mobil perusahaan dan WNA juga tak luput dari luapan emosi para pekerja. Berbagai peralatan di ruangan quality control (QC) juga ikut terbakar yang berada di sebelah ruang rapat. Akibat kejadian itu perusahaan mengalami kerugian hingga puluhan miliar rupiah.
Kerusuhan itu juga membuat tenaga kerja asing yang ada di Batam meninggalkan Indonesia, pergi ke Singapura menunggu hingga situasi Batam kondusif karena sempat beredar ada isu penyisiran.
Menanggapi kejadian tersebut, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi langsung membentuk TPF yang diketuai Haiyani Rumondang. TPF menemukan sumber pemicu kerusuhan yakni masalah outsourcing. Selain itu, Rumondang juga mengatakan, sikap kurang bersahabat dari tenaga kerja asing yang mengeluarkan kata-kata tidak pantas kepada pekerja lokal yang mengakibatkan ribuan buruh yang marah melakukan pengrusakan.
Mengetahui hasil temuan TPF tersebut, Menakertrans Muhaimin Iskandar mengatakan perlunya aturan baru terkait outsourcing. Dia menilai aturan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan perekonomian di Indonesia sehingga perlu dibuat aturan yang lebih lengkap untuk menempatkan pekerja dengan lebih baik. Muhaimin sangat menyesalkan kejadian yang tidak seharusnya terjadi jika pihak manajemen, pekerja, serta serikat pekerja dapat menjalin hubungan industrial yang kondusif dan komunikasi yang baik.
Sementara itu menyikapi berbagai kerusuhan yang sering terjadi di Indonesia, psikolog dari Universitas Indonesia Tika Bisono mengatakan, amuk massa yang terjadi menjadi petunjuk adanya ketidaktegasan pemerintah dalam mengatasi masalah rakyat sehingga masyarakat frustasi. Di sisi lain penyelenggara negara juga tidak punya agenda terkait dengan moral, etika, psikologi, dan sosiologi budaya (Media Indonesia, 25/4). Tak hanya itu, amuk massa juga dipicu buruknya mekanisme struktural di birokrasi dalam menangani kasus-kasus di masyarakat yang menurut sosiolog Imam Prasodjo bisa dicegah jika pemerintah menempuh cara-cara kultural sambil berinteraksi dengan warga dan sistem penegakan hukum dapat dipercaya masyarakat. BI-SAN (Berita Indonesia 76)

Siapa Yang Bertanggung Jawab?
TPF harus mampu mengungkap dalang di balik kerusuhan yang melibatkan warga yang masih muda-muda dan menemukan siapa pembunuh tiga satpol.
Tragedi Koja, Tanjung Priok yang terjadi pada 14 April 2010, masih menyisakan keprihatinan kita semua. Tiga orang tewas dari Satpol PP, dan selebihnya 192 orang mengalami luka-luka. Kejadian ini sekaligus mengundang tanya warga yang sedang menonton televisi secara langsung- bentrok antara Satpol PP dengan warga ketika hendak mengeksekusi makam Mbah Priok. “Pada kemana Polisi ya, sepertinya nggak kelihatan,” tanya salah satu warga.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama Palang Merah Indonesia (PMI) langsung membentuk tim investigasi-Tim Pencari Fakta (TPF) pasca rusuh. Setelah melakukan investigasi ke berbagai instansi terkait, Walikota Jakarta Utara, Pemprov DKI, PT Pelindo, dan ahli waris makam Mbah Priok serta beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas), TPF menemukan indikasi pembiaran dari pihak keamanan. “Ada indikasi dugaan pembiaran dari pihak keamanan. Dalam hal ini polisi,” kata Ketua TPF Lulung Lunggana.
Lulung yang juga Wakil Ketua DPRD DKI menjelaskan tiga temuan fakta yaitu adanya kesalahan standar operasi prosedur (SOP) oleh Satpol PP dalam menegakkan perda. Potensi konflik tidak diperhitungkan baik oleh intel Polri, dan pimpinan Satpol PP pemegang kendali operasi seharusnya memerintahkan mundur pasukannya.
Sementara pihak kepolisian juga dinilai tidak bereaksi cepat untuk menurunkan bantuan. Dari pengakuan Walikota Jakarta Utara Bambang Sugiyono kepada TPF, pihaknya meminta Kapolres Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KP3) Tanjung Priok untuk meminta bantuan Kodam Jaya. Karena untuk meminta bantuan TNI hanya bisa dilakukan polisi. Hal itu kemudian diteruskan Kapolres KP3, menghubungi Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Wahyono. Namun saat itu Kapolda mengatakan situasinya masih kondusif dan aman. Padahal kondisi saat itu bukan lagi sekadar penertiban, tapi sudah kerusuhan.
Namun demikian, Polda Metro Jaya menyangkal tudingan itu, sengaja membiarkan terjadinya rusuh di makam Mbah Priok. Polda juga turut mengirimkan tim, bahkan 21 mobil polisi ikut menjadi amuk massa dan 12 anggota polisi terluka.
Seperti diketahui sebelum eksekusi dilakukan, Joni Nelson Simanjuntak Komisioner Komnas HAM, juga anggota Tim Investigasi mengungkapkan, kerusuhan sudah diprediksi sebelumnya. Ada rapat koordinasi antara Satpol PP, kepolisian, kodim, dan PT Pelindo II, sudah mengetahui hal itu. Mengutip keterangan Kepala Satpol PP (nonaktif) Harianto Badjuri, seusai melakukan pemeriksaan. Pada hari H eksekusi, Satpol PP hanya untuk menjaga terlaksananya operasi penertiban. “Ini yang akan kami terus dalami bagaimana komando jaringan ketika terjadi penertiban itu,” katanya.
Belum dipastikannya siapa yang bertanggung jawab karena masih dalam penyelidikan. Namun peristiwa itu tanggung jawab perancang kebijakan pejabat publik, kata Adrianus Meliala pakar kriminolog dan Guru Besar Ul. Menurutnya perancang kebijakan terlalu percaya diri. Dua hari sebelum kejadian, intelijen menyarankan agar tidak dilakukan penggusuran. Bisa menimbulkan kegaduhan, karena lokasi terkait SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Ketika ditanya dimana posisi kepolisian dalam insiden tersebut? Menurutnya polisi sudah memberikan analisis intelijen, serangan tidak layak. Jadi polisi dalam posisi netral. “Ketika masyarakat dipukuli oleh Satpol PP, polisi yang melerai. Ketika Satpol PP yang dipukuli warga, polisi juga melerai,” kata Adrianus.
Satpol PP dalam melakukan penertiban selama ini sering melakukan tindak kekerasan membuat citra Satpol PP semakin terpuruk. Warga sempat mendesak agar Satpol PP DKI dibubarkan dan tugas itu diserahkan ke polisi. “Jangan menyudutkan Satpol sebagai pihak yang paling salah,” ucap Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan meminta agar investigasi dilakukan secara adil, tapi jangan emosional. “Dia (masyarakat) melakukan pembunuhan. Itu ‘kan kriminal. Kalau itu kita biarkan, akan ada pengulangan. Mereka mengira itu boleh. Ini akan terulang. Korbannya bisa saja nanti polisi,” katanya seusai menghadiri peluncuran buku Tanpa Tutup, Boleh Nakal tapi Nggak Boleh Bejat di Jakarta, Jumat (23/4).
TPF harus mampu mengungkap dalang di balik kerusuhan yang melibatkan warga yang masih muda-muda dan menemukan siapa pembunuh tiga satpol. Di samping itu perlu ada evaluasi prosedur operasi Satpol PP di dalam melakukan penertiban, terlebih dahulu melakukan sosialisasi sebelum melakukan eksekusi, tidak represif tapi lebih menekankan pendekatan kemanusiaan. BI-SAN (Berita Indonesia 76)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar