Minggu, 04 Desember 2011

Babak Baru Perjalanan Harry Potter

Seri Harry Potter sudah memasuki tahun keenam. Menjelang kisah pamungkasnya, film Harry Potter and the Half-Blood Prince bukan lagi untuk konsumsi anak-anak.
Menanjak di tahun keenam, film terbaru Harry Potter and the Half-Blood Prince tak juga surut dari penantian para peminatnya. Dalam putaran pekan perdana tayangan di Amerika, Kanada dan Inggris Raya, film ini sudah mengantongi lebih dari 3,8 juta penonton. Harian New York Time menyambut peluncuran film ini dengan memberi persamaan yang tegas bahwa Harry Potter diperkirakan bisa menandingi kemasyuran trilogy Lord of The Ring dan (mungkin) akan menyamai Star Wars.
Melihat riak penonton yang semakin meningkat (30 persen) dari seri sebelumnya, maka tak pelak kisah penyihir berkacatama itu tengah menuju gelar “film legendaris” sepanjang masa. Bahkan untuk film Inggris (banget) ternyata bisa diterima dengan gempita di publik Amerika (yang konon sering enggan dengan film yang berlogat sangat ke-British-british-an). Harian Amerika ternama NewYork Time menyebutkan, “bahkan dalam rentang waktu yang panjang dalam satu generasi, Harry Potter and the Half-Blood tetap bertahan di antara film fantasi dan genre sejenis. Tidak disadari waktu telah menunjukkan perubahan yang berarti, kedewasaan cerita ini tidak membuat fanatiknya stagnan, tapi malah berlipat dengan berjalannya waktu.”
Di penghujung tahun 2000, ketika buku pertama versi aslinya Harry Potter and Philosopher’s Stone (dalam versi Amerika Serikat judulnya diubah menjadi Soccerer’s Stone dengan alasan komersial) disambut meriah di kalangan anak-anak. Penulisnya, Joanne Kathleen Rowling menegaskan bahwa ia menulis kisah si Harry bukan untuk anak-anak, tapi untuk pembaca dewasa.
Sampai empat seri, para orangtua masih anteng saja kalau mendapati anak mereka sedang membaca buku yang dimasukkan dalam genre fantasi tersebut. Pembaca dewasa baru sadar, saat menjejak seri ke lima dan seterusnya. Si Harry sudah beranjak dewasa berikut kisahnya yang semakin kompleks dan terutama intrik dalam ceritanya.
“Saya menulis kisah ini dengan kepala dan hati saya sebagai seorang ibu, dan sengaja menjebakkan diri saya dalam kisah cerita fantasi yang tidak simpel. Jika ternyata anak-anak menyukai, saya berharap dia menjadi teman sebaya bagi Harry (Potter) yang beranjak dewasa sampai buku ke tujuhnya tamat,” kata Rowling.
Meski demikian, di Amerika sendiri, pemberlakuan pembatasan usia penonton minimal 13 tahun mengundang protes keras. Ini menunjukkan, bahwa penonton film Harry Potter and the Half-Blood bisa jadi bukan hanya yang sejalan dengan usia sebaya dengan si Harry itu. Bahkan sudah melebar ke “adik kelas” mereka, yang tertinggal 3-5 tahun sebelum mereka melek aksara.
Drama-FantasiFilm Harry Potter and the Half-Blood Prince mengisahkan, berkat bantuan kepala sekolah Albus Dumbledore (Michael Gambon), Harry Potter (Daniel Radclife) akhirnya mampu mengenal kembali sosok musuh abadinya Lord Voldemort (diperankan dengan gemilang oleh Ralph Fiennes). Dumbledore terus meyakinkan bahwa Harry mampu menandingi kekuatan gelap dari Voldemort dengan cara mendekati Profesor Horace Slughorn sebagai kunci penguak tabir masa lalu Voldemort.
David Yates, sang sutradara cukup mampu menggambarkan suasana kelam seperti dalam bukunya. Bagaimana si Harry merasa tercekam hanya dengan melihat bayangan masa lalu. Kekuatan Yates sebagai sutradara kampiun film drama serial dari Inggris Raya, tercium sejak menit pertama film dimulai. Dan, (untungnya) paduan gemilang dari gambar dengan kekuatan efek yang apik dari penata visual kenamaan Tim Burke mampu menghidupkan fantasi dalam ceritanya. Maka nikmatilah sensasi gothic saat Harry mendekati sang Profesor…
“Dari sanalah kunci kekuatan sihir Voldemort bisa ditemukan. Kita harus mencari tahu dan membuka tabir misteri kekuatannya,” kata Dumbledore meyakinkan Harry.
Sebenarnya, pembuka film ini terasa berat untuk penonton usia anak-anak, dan sedikit berbeda corak dengan lima seri sebelumnya. Apalagi, setelah 30 menit pertama, film Harry Potter and the Half-Blood Prince penuh dengan intrik dan strategi alam pikir ketimbang gerak sihir atau aksi laga.
Sesuai dengan bukunya, film ini memang menonjolkan sisi cerita (plot) dibanding aksi dan unsur fantasinya. Paparan awal pembuka film tadi saja sudah membuktikan inilah babak baru kisah Harry Potter yang tidak lagi kanak-kanak. Bukan hanya terlihat adegan di mana Harry mulai mencukur bulu halus di dagunya, tapi pertaruhan yang sesungguhnya terletak dalam alam nalar ketimbang aksi badaniah. Melihat kenyataan film yang memasuki tahun keenam ini menekankan unsur dramatisasi yang lebih ditonjolkan, maka tidak berlebihan bila Harry Potter and the Half-Blood dimasukkan sebagai film ‘drama-fantasi” (kendati hampir seluruh ulasan film di negeri aslinya tetap menggolongkan sebagai film fantasi; atau bahkan ada yang radikal menggolongkan sebagai drama romantis).
Harry yang sekarang bukan lagi anak ingusan yang reaktif dengan “ancaman” dan “reaksi” dari luar. Ia kini lebih kontemplatif, sedikit-banyak sudah terlihat ambigu, dan terlihat mulai “main hati”. Dia tumbuh menjadi lelaki yang mulai mengandalkan nalar, penyihir yang juga punya pertimbangan, dan juga punya kisah cinta yang mulai mekar. Harry di seri ini sangat memunculkan sosoknya sebagai “manusia”.
Di sisi lain, cabang cerita lainnya masih berkisah tentang Harry dan dua sahabat karibnya: Hermione Granger (Emma Watson) dan Ron Weasley (Rupert Grint). Seperti juga Harry, kedua sahabatnya pun sedang memasuki usia baligh. Persoalan cinta, sekilas seperti tempelan dalam plot. Tapi, jika kita memakai frame sebagai penonton remaja, maka bagian ini tak bisa dianggap remeh. Unsur dramatisasi mengambil porsi yang besar ketimbang fantasi ceritanya. Tak heran jika film Harry Potter and the Half-Blood Prince seperti menjadi jembatan antara cerita remajanya kini, dengan cerita pamungkasnya Harry Potter and The Deathly Hallows bagian I dan II (Kedua seri penutup kisah Harry Potter itu rencananya akan diputar tahun 2010 dan 2011 dan konon punya rasa yang lebih mencerminkan sisi pertarungan, intrik, konspirasi, tipu daya, aksi tanding dan kompleksitas di akhir cerita).
Layaknya tontonan remaja, Harry Potter and the Half-Blood Prince memperlihatkan kalau kemasan film juga punya nilai jual. Misalnya saja, pergantian pemain dalam tokoh Lavender Brown yang cukup signifikan bagi Potter-mania. Dalam seri sebelumnya, Harry Potter and Goblet of Fire, tokoh ini diperankan oleh Jennifer Smith, kemudian dalam Half-Blood Half-Blood diganti oleh Jessie Cave. Pergantian pemain ini menjadi isu besar saat pra-produksi, sehingga jaringan berita Digitalspy menyuguhkan berita “7000 Gadis untuk Satu Peran Lavender Brown” yang cukup meresahkan para Potter-mania di Inggris Raya. Tentu saja, dengan sejumlah potensi Jessie Cave yang dipilih dari 7000 kandidat itu sudah barang tentu punya nilai tambah untuk film yang mayoritas ditonton remaja itu.
Kehadiran Lavender Brown cukup penting, karena ia menjadi “gula-gula” dalam hubungan cinta antara Ron dan Hermione. Jika Harry tersengat oleh Ginny Weasley (adik kandung Ron), maka Hermione dan Ron terlibat cinta segi tiga, dan kehadiran Lavender Brown lah yang menjadi titik pangkal persoalannya. Sejumlah adegan cium, maaf, menambah alasan film Harry Potter kali ini tergolong kurang tepat jika dilihat penonton cilik kita. Tentang adegan mesra ini, The Mirror menobatkan film ini sebagai sihir bagi penonton yang di bawah umur. Sedangkan jaringan berita Digitalspy menobatkan film ini sebagai komedi romantis belaka. CHUS (Berita Indonesia 69)

Sihir SainsDr. Roger Highfield - editor ahli yang telah bekerja lebih 16 tahun mengurusi naskah sains dan teknologi di harian The Daily Telegraph - tengah kerasukan sihir dari buku Harry Potter. Karena kedua anaknya yang masih tergolong belia tengah dilanda euphoria Harry Potter, akhirnya ia juga ikutan membaca kisah penyihir lelaki berkacamata itu.
Kala itu baru masuk seri pertama, Harry Potter and Philosopher’s Stone. Untuk keduakalinya ia membaca ulang buku dengan kesadaran penuh ingin membuktikan bahwa apa yang disajikan oleh J. K Rowling adalah cerita berkekuatan riset dan bukan isapan jempol semata.
“Sihir ternyata dekat dengan sains,” ulas Highfield yang akhirnya ia tulis dalam sebuah buku berjudul The Science of Harry Potter.
Highfield membaca tuntas minimal tiga kali setiap bukunya, dan terus membolak-balik halaman untuk menemui kejadian dalam cerita Harry Potter dengan segala keanehannya. Kelak ia masukkan sebagai “sihir” ala Harry Potter yang bisa dijelaskan secara saintifik. Buku yang pada akhirnya diterjemahkan di Indonesia menjadi Sains Harry Potter itu seperti ingin menemukan “versi logisnya” dari sejumlah keseruan cerita sihir yang terjadi dalam cerita. Buku terbagi dalam dua pokok bahasan besar, yaitu bermain-main dengan sains dan bagian yang satu lagi kritisi yang berkaitan antara mitos dan kenyataan.
Sebelumnya, di sejumlah negara bagian di Amerika, sebagian dari negara Eropa utara, sebagian Asia kecil, dan Timur Tengah sempat tersiar pelarangan akan film Harry Potter karena mengundang sihir dalam hiburan anak-anak. Lebih dari 40 persen, cerita “sihir” dalam sejumlah seri Harry Potter adalah sebuah rekayasa proses kimia. Rowling bukan saja brilian yang pandai membolak-balik akar kata dari setiap nama tokohnya yang mempunyai perwakilan sifat, tapi juga mahir membuat sains jadi hiburan.
Beberapa ilmuwan berpendapat, imajinasi Rowling sebagai kreator ceritanya ini bukan cuma dongeng. Mereka menganggapnya sebagai inspirasi sains. Contoh menariknya adalah apa yang dilakukan Clinton Rubin. Direktur Pusat Penelitian Bioteknologi pada State University of New York ini mengkaji buku-buku Harry Potter dengan Jasper, anak laki-lakinya. Sebagai ahli bioteknologi, ia tertarik dengan sihir Madam Pomfrey. Dalam sebuah pertandingan Quidditch, Potter kehilangan tulang lengan karena dihantam bola yang telah diguna-gunai Profesor Lockhart. Untunglah ada Madam Pomfrey yang bisa menumbuhkan tulang. Ia menggunakan ramuan Skele-Gro.
Rubin mengemukakan teori awalnya dengan lambaian tongkat sihir Lockhart yang telah mengaktfkan sel-sel ‘pemakan-tulang’ yang disebut osteoklas. Sel-sel ini diketahui berperan dalam penyakit tulang seperti osteoporosis dan pengeroposan tulang yang terjadi ketika orang hidup di lingkungan bergravitasi rendah. Hal ini juga yang menjadi momok menakutkan para astronot dalam misi luar angkasa jangka panjang. Salah satu cara melawan sel-sel itu adalah dengan mengaktifkan osteoblas, sel-sel pembentuk tulang. “Dalam semangat (seri) cerita Harry Potter, kamu dapat melakukan itu dengan medan magnet tingkat rendah, seperti yang digunakan klinik-klinik ortopedik untuk merangsang tulang yang patah agar sembuh kembali,” kata Rubin.
Ia menduga ramuan Skele-Gro memanfaatkan protein-protein untuk menumbuhkan tulang. Ia mengajukan satu kemungkinan, yakni TGF-â atau protein morfogenetis tulang. Dengan pemikiran ini, Rubin sampai berkelakar, jika Madam Pomfrey (yang fiktif itu) sampai kehabisan Skele-Gro, ia sanggup menawarkan alternatif yang lebih lambat sehingga ia bisa tenang jika ada kecelakaan di pertandingan quidditch lagi.
Demistifikasi SihirBagi Highfield, Harry Potter bukan lagi cerita fantasi yang tak berujung-pangkal. Bahkan ia menjamin, ketika menyaksikan gambar bergerak dalam seluloid di bioskop bersama anak-anaknya, ia bisa menjelaskan bagaimana banyak hal yang dijumpai dalam film bisa dijelaskan secara ilmiah.
Menurutnya, banyak ahli di berbagai bidang sains, bukan hanya kimia, tapi ilmu matematika, biologi, astronomi, dan fisika yang bisa menjelaskan dan mengupas hal-hal kecil yang berkaitan dengan sistem pemberian nilai di sekolah Hogwarts dengan teori permainan yang membuat John Nash mendapat Penghargaan Nobel. Jubah sekolah yang tak bisa kusam dihubungkan dengan kain karbon. Kacang Segala Rasa Bertie Bott dengan teori aroma dan rasa makanan serta konstruksi hidung dan sistem pencecap lidah. Dan lain sebagainya.
Dengan genetika, Highfield berpendapat makhluk raksasa seperti Hagrid bisa di-”cipta”-kan. Penjaga sekolah Hogwarts ini campuran dari raksasa dan manusia. Penerima hadiah Nobel Paul Nurse pernah menemukan mekanisme mutan kecil yang membawa pada pemahaman tentang pembelahan sel. Ahli ini pernah mempromosikan lembaga anti-kankernya dengan mengenakan topi runcing Harry Potter di Stasiun King’s Cross, London, Inggris. Penelitian terhadap tikus-tikus yang telah direkayasa gennya mampu tumbuh hingga 25-30 persen lebih besar dari tikus normal. Dengan menggunakan teknik yang sama, prosedur ini bisa membuat seseorang “dibesarkan ukurannya” seperti Hagrid.
Bagi penikmat film Harry Potter versi layar lebar, bisa jadi butuh keterangan tambahan untuk menikmati uraiannya. Tapi sebaliknya, salah satu kelebihan menikmati film Harry Potter adalah menemukan hal-hal kecil yang menarik, dan langsung tampak secara visual dan mudah untuk menggiringnya ke dalam isu sains. Akan tetapi dari sisi ini, bisa jadi kita bisa mengetahui bagaimana Highfield ingin menunjukkan bahwa sihir dan sains itu sebenarnya tidak jauh beda, atau bahkan, mungkin saja sama. GALLUS (Berita Indonesia 69)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minggu, 04 Desember 2011

Babak Baru Perjalanan Harry Potter

Seri Harry Potter sudah memasuki tahun keenam. Menjelang kisah pamungkasnya, film Harry Potter and the Half-Blood Prince bukan lagi untuk konsumsi anak-anak.
Menanjak di tahun keenam, film terbaru Harry Potter and the Half-Blood Prince tak juga surut dari penantian para peminatnya. Dalam putaran pekan perdana tayangan di Amerika, Kanada dan Inggris Raya, film ini sudah mengantongi lebih dari 3,8 juta penonton. Harian New York Time menyambut peluncuran film ini dengan memberi persamaan yang tegas bahwa Harry Potter diperkirakan bisa menandingi kemasyuran trilogy Lord of The Ring dan (mungkin) akan menyamai Star Wars.
Melihat riak penonton yang semakin meningkat (30 persen) dari seri sebelumnya, maka tak pelak kisah penyihir berkacatama itu tengah menuju gelar “film legendaris” sepanjang masa. Bahkan untuk film Inggris (banget) ternyata bisa diterima dengan gempita di publik Amerika (yang konon sering enggan dengan film yang berlogat sangat ke-British-british-an). Harian Amerika ternama NewYork Time menyebutkan, “bahkan dalam rentang waktu yang panjang dalam satu generasi, Harry Potter and the Half-Blood tetap bertahan di antara film fantasi dan genre sejenis. Tidak disadari waktu telah menunjukkan perubahan yang berarti, kedewasaan cerita ini tidak membuat fanatiknya stagnan, tapi malah berlipat dengan berjalannya waktu.”
Di penghujung tahun 2000, ketika buku pertama versi aslinya Harry Potter and Philosopher’s Stone (dalam versi Amerika Serikat judulnya diubah menjadi Soccerer’s Stone dengan alasan komersial) disambut meriah di kalangan anak-anak. Penulisnya, Joanne Kathleen Rowling menegaskan bahwa ia menulis kisah si Harry bukan untuk anak-anak, tapi untuk pembaca dewasa.
Sampai empat seri, para orangtua masih anteng saja kalau mendapati anak mereka sedang membaca buku yang dimasukkan dalam genre fantasi tersebut. Pembaca dewasa baru sadar, saat menjejak seri ke lima dan seterusnya. Si Harry sudah beranjak dewasa berikut kisahnya yang semakin kompleks dan terutama intrik dalam ceritanya.
“Saya menulis kisah ini dengan kepala dan hati saya sebagai seorang ibu, dan sengaja menjebakkan diri saya dalam kisah cerita fantasi yang tidak simpel. Jika ternyata anak-anak menyukai, saya berharap dia menjadi teman sebaya bagi Harry (Potter) yang beranjak dewasa sampai buku ke tujuhnya tamat,” kata Rowling.
Meski demikian, di Amerika sendiri, pemberlakuan pembatasan usia penonton minimal 13 tahun mengundang protes keras. Ini menunjukkan, bahwa penonton film Harry Potter and the Half-Blood bisa jadi bukan hanya yang sejalan dengan usia sebaya dengan si Harry itu. Bahkan sudah melebar ke “adik kelas” mereka, yang tertinggal 3-5 tahun sebelum mereka melek aksara.
Drama-FantasiFilm Harry Potter and the Half-Blood Prince mengisahkan, berkat bantuan kepala sekolah Albus Dumbledore (Michael Gambon), Harry Potter (Daniel Radclife) akhirnya mampu mengenal kembali sosok musuh abadinya Lord Voldemort (diperankan dengan gemilang oleh Ralph Fiennes). Dumbledore terus meyakinkan bahwa Harry mampu menandingi kekuatan gelap dari Voldemort dengan cara mendekati Profesor Horace Slughorn sebagai kunci penguak tabir masa lalu Voldemort.
David Yates, sang sutradara cukup mampu menggambarkan suasana kelam seperti dalam bukunya. Bagaimana si Harry merasa tercekam hanya dengan melihat bayangan masa lalu. Kekuatan Yates sebagai sutradara kampiun film drama serial dari Inggris Raya, tercium sejak menit pertama film dimulai. Dan, (untungnya) paduan gemilang dari gambar dengan kekuatan efek yang apik dari penata visual kenamaan Tim Burke mampu menghidupkan fantasi dalam ceritanya. Maka nikmatilah sensasi gothic saat Harry mendekati sang Profesor…
“Dari sanalah kunci kekuatan sihir Voldemort bisa ditemukan. Kita harus mencari tahu dan membuka tabir misteri kekuatannya,” kata Dumbledore meyakinkan Harry.
Sebenarnya, pembuka film ini terasa berat untuk penonton usia anak-anak, dan sedikit berbeda corak dengan lima seri sebelumnya. Apalagi, setelah 30 menit pertama, film Harry Potter and the Half-Blood Prince penuh dengan intrik dan strategi alam pikir ketimbang gerak sihir atau aksi laga.
Sesuai dengan bukunya, film ini memang menonjolkan sisi cerita (plot) dibanding aksi dan unsur fantasinya. Paparan awal pembuka film tadi saja sudah membuktikan inilah babak baru kisah Harry Potter yang tidak lagi kanak-kanak. Bukan hanya terlihat adegan di mana Harry mulai mencukur bulu halus di dagunya, tapi pertaruhan yang sesungguhnya terletak dalam alam nalar ketimbang aksi badaniah. Melihat kenyataan film yang memasuki tahun keenam ini menekankan unsur dramatisasi yang lebih ditonjolkan, maka tidak berlebihan bila Harry Potter and the Half-Blood dimasukkan sebagai film ‘drama-fantasi” (kendati hampir seluruh ulasan film di negeri aslinya tetap menggolongkan sebagai film fantasi; atau bahkan ada yang radikal menggolongkan sebagai drama romantis).
Harry yang sekarang bukan lagi anak ingusan yang reaktif dengan “ancaman” dan “reaksi” dari luar. Ia kini lebih kontemplatif, sedikit-banyak sudah terlihat ambigu, dan terlihat mulai “main hati”. Dia tumbuh menjadi lelaki yang mulai mengandalkan nalar, penyihir yang juga punya pertimbangan, dan juga punya kisah cinta yang mulai mekar. Harry di seri ini sangat memunculkan sosoknya sebagai “manusia”.
Di sisi lain, cabang cerita lainnya masih berkisah tentang Harry dan dua sahabat karibnya: Hermione Granger (Emma Watson) dan Ron Weasley (Rupert Grint). Seperti juga Harry, kedua sahabatnya pun sedang memasuki usia baligh. Persoalan cinta, sekilas seperti tempelan dalam plot. Tapi, jika kita memakai frame sebagai penonton remaja, maka bagian ini tak bisa dianggap remeh. Unsur dramatisasi mengambil porsi yang besar ketimbang fantasi ceritanya. Tak heran jika film Harry Potter and the Half-Blood Prince seperti menjadi jembatan antara cerita remajanya kini, dengan cerita pamungkasnya Harry Potter and The Deathly Hallows bagian I dan II (Kedua seri penutup kisah Harry Potter itu rencananya akan diputar tahun 2010 dan 2011 dan konon punya rasa yang lebih mencerminkan sisi pertarungan, intrik, konspirasi, tipu daya, aksi tanding dan kompleksitas di akhir cerita).
Layaknya tontonan remaja, Harry Potter and the Half-Blood Prince memperlihatkan kalau kemasan film juga punya nilai jual. Misalnya saja, pergantian pemain dalam tokoh Lavender Brown yang cukup signifikan bagi Potter-mania. Dalam seri sebelumnya, Harry Potter and Goblet of Fire, tokoh ini diperankan oleh Jennifer Smith, kemudian dalam Half-Blood Half-Blood diganti oleh Jessie Cave. Pergantian pemain ini menjadi isu besar saat pra-produksi, sehingga jaringan berita Digitalspy menyuguhkan berita “7000 Gadis untuk Satu Peran Lavender Brown” yang cukup meresahkan para Potter-mania di Inggris Raya. Tentu saja, dengan sejumlah potensi Jessie Cave yang dipilih dari 7000 kandidat itu sudah barang tentu punya nilai tambah untuk film yang mayoritas ditonton remaja itu.
Kehadiran Lavender Brown cukup penting, karena ia menjadi “gula-gula” dalam hubungan cinta antara Ron dan Hermione. Jika Harry tersengat oleh Ginny Weasley (adik kandung Ron), maka Hermione dan Ron terlibat cinta segi tiga, dan kehadiran Lavender Brown lah yang menjadi titik pangkal persoalannya. Sejumlah adegan cium, maaf, menambah alasan film Harry Potter kali ini tergolong kurang tepat jika dilihat penonton cilik kita. Tentang adegan mesra ini, The Mirror menobatkan film ini sebagai sihir bagi penonton yang di bawah umur. Sedangkan jaringan berita Digitalspy menobatkan film ini sebagai komedi romantis belaka. CHUS (Berita Indonesia 69)

Sihir SainsDr. Roger Highfield - editor ahli yang telah bekerja lebih 16 tahun mengurusi naskah sains dan teknologi di harian The Daily Telegraph - tengah kerasukan sihir dari buku Harry Potter. Karena kedua anaknya yang masih tergolong belia tengah dilanda euphoria Harry Potter, akhirnya ia juga ikutan membaca kisah penyihir lelaki berkacamata itu.
Kala itu baru masuk seri pertama, Harry Potter and Philosopher’s Stone. Untuk keduakalinya ia membaca ulang buku dengan kesadaran penuh ingin membuktikan bahwa apa yang disajikan oleh J. K Rowling adalah cerita berkekuatan riset dan bukan isapan jempol semata.
“Sihir ternyata dekat dengan sains,” ulas Highfield yang akhirnya ia tulis dalam sebuah buku berjudul The Science of Harry Potter.
Highfield membaca tuntas minimal tiga kali setiap bukunya, dan terus membolak-balik halaman untuk menemui kejadian dalam cerita Harry Potter dengan segala keanehannya. Kelak ia masukkan sebagai “sihir” ala Harry Potter yang bisa dijelaskan secara saintifik. Buku yang pada akhirnya diterjemahkan di Indonesia menjadi Sains Harry Potter itu seperti ingin menemukan “versi logisnya” dari sejumlah keseruan cerita sihir yang terjadi dalam cerita. Buku terbagi dalam dua pokok bahasan besar, yaitu bermain-main dengan sains dan bagian yang satu lagi kritisi yang berkaitan antara mitos dan kenyataan.
Sebelumnya, di sejumlah negara bagian di Amerika, sebagian dari negara Eropa utara, sebagian Asia kecil, dan Timur Tengah sempat tersiar pelarangan akan film Harry Potter karena mengundang sihir dalam hiburan anak-anak. Lebih dari 40 persen, cerita “sihir” dalam sejumlah seri Harry Potter adalah sebuah rekayasa proses kimia. Rowling bukan saja brilian yang pandai membolak-balik akar kata dari setiap nama tokohnya yang mempunyai perwakilan sifat, tapi juga mahir membuat sains jadi hiburan.
Beberapa ilmuwan berpendapat, imajinasi Rowling sebagai kreator ceritanya ini bukan cuma dongeng. Mereka menganggapnya sebagai inspirasi sains. Contoh menariknya adalah apa yang dilakukan Clinton Rubin. Direktur Pusat Penelitian Bioteknologi pada State University of New York ini mengkaji buku-buku Harry Potter dengan Jasper, anak laki-lakinya. Sebagai ahli bioteknologi, ia tertarik dengan sihir Madam Pomfrey. Dalam sebuah pertandingan Quidditch, Potter kehilangan tulang lengan karena dihantam bola yang telah diguna-gunai Profesor Lockhart. Untunglah ada Madam Pomfrey yang bisa menumbuhkan tulang. Ia menggunakan ramuan Skele-Gro.
Rubin mengemukakan teori awalnya dengan lambaian tongkat sihir Lockhart yang telah mengaktfkan sel-sel ‘pemakan-tulang’ yang disebut osteoklas. Sel-sel ini diketahui berperan dalam penyakit tulang seperti osteoporosis dan pengeroposan tulang yang terjadi ketika orang hidup di lingkungan bergravitasi rendah. Hal ini juga yang menjadi momok menakutkan para astronot dalam misi luar angkasa jangka panjang. Salah satu cara melawan sel-sel itu adalah dengan mengaktifkan osteoblas, sel-sel pembentuk tulang. “Dalam semangat (seri) cerita Harry Potter, kamu dapat melakukan itu dengan medan magnet tingkat rendah, seperti yang digunakan klinik-klinik ortopedik untuk merangsang tulang yang patah agar sembuh kembali,” kata Rubin.
Ia menduga ramuan Skele-Gro memanfaatkan protein-protein untuk menumbuhkan tulang. Ia mengajukan satu kemungkinan, yakni TGF-â atau protein morfogenetis tulang. Dengan pemikiran ini, Rubin sampai berkelakar, jika Madam Pomfrey (yang fiktif itu) sampai kehabisan Skele-Gro, ia sanggup menawarkan alternatif yang lebih lambat sehingga ia bisa tenang jika ada kecelakaan di pertandingan quidditch lagi.
Demistifikasi SihirBagi Highfield, Harry Potter bukan lagi cerita fantasi yang tak berujung-pangkal. Bahkan ia menjamin, ketika menyaksikan gambar bergerak dalam seluloid di bioskop bersama anak-anaknya, ia bisa menjelaskan bagaimana banyak hal yang dijumpai dalam film bisa dijelaskan secara ilmiah.
Menurutnya, banyak ahli di berbagai bidang sains, bukan hanya kimia, tapi ilmu matematika, biologi, astronomi, dan fisika yang bisa menjelaskan dan mengupas hal-hal kecil yang berkaitan dengan sistem pemberian nilai di sekolah Hogwarts dengan teori permainan yang membuat John Nash mendapat Penghargaan Nobel. Jubah sekolah yang tak bisa kusam dihubungkan dengan kain karbon. Kacang Segala Rasa Bertie Bott dengan teori aroma dan rasa makanan serta konstruksi hidung dan sistem pencecap lidah. Dan lain sebagainya.
Dengan genetika, Highfield berpendapat makhluk raksasa seperti Hagrid bisa di-”cipta”-kan. Penjaga sekolah Hogwarts ini campuran dari raksasa dan manusia. Penerima hadiah Nobel Paul Nurse pernah menemukan mekanisme mutan kecil yang membawa pada pemahaman tentang pembelahan sel. Ahli ini pernah mempromosikan lembaga anti-kankernya dengan mengenakan topi runcing Harry Potter di Stasiun King’s Cross, London, Inggris. Penelitian terhadap tikus-tikus yang telah direkayasa gennya mampu tumbuh hingga 25-30 persen lebih besar dari tikus normal. Dengan menggunakan teknik yang sama, prosedur ini bisa membuat seseorang “dibesarkan ukurannya” seperti Hagrid.
Bagi penikmat film Harry Potter versi layar lebar, bisa jadi butuh keterangan tambahan untuk menikmati uraiannya. Tapi sebaliknya, salah satu kelebihan menikmati film Harry Potter adalah menemukan hal-hal kecil yang menarik, dan langsung tampak secara visual dan mudah untuk menggiringnya ke dalam isu sains. Akan tetapi dari sisi ini, bisa jadi kita bisa mengetahui bagaimana Highfield ingin menunjukkan bahwa sihir dan sains itu sebenarnya tidak jauh beda, atau bahkan, mungkin saja sama. GALLUS (Berita Indonesia 69)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar